Artikel ini merupakan tugas saya saat Kelas XI, semoga artikel ini dapat membantu kalian semua
1.
Kerajaan Kutai
Letak Geografis Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai
merupakan kerajaan tertua bercorak Hindu yang terletak di Kalimantan Timur.
Kehidupan ekonomi di Kerajaan Kutai
dapat diketahui dari dua hal berikut ini :
Letak geografis Kerajaan Kutai berada pada
jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai menjadi tempat yang
menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai,
disamping pertanian.
Keterangan tertulis pada prasasti yang
mengatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan hartanya berupa minyak dan
20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.
Diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada
abad 4 M prasasti tersebut didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah
tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa
(tiang batu) tulisan yupa itu menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta.
Dan dalam prasasti itu pun menyatakan
bahwa Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti. Hal itu karena pada saat itu Raja
Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa menjadi pendiri
dinasti Hindu.
Adapun isi prasati tersebut menyatakan
bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama Kudungga. Ia mempunyai seorang putra
bernama Asawarman yang disebut sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah
meninggal, Asawarman digantikan oleh Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan
nama-nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh
ajaran Hindu dalam kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja
Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.
Kehidupan Sosial
di Kerajaan Kutai
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai
merupakan terjemahan dari prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para ahli.
Diantara terjemahan tersebut adalah sebagai berikut :
Masyarakat
di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur. Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki
kemampuan beradaptasi dengan budaya luar (India), mengikuti pola perubahan
zaman dengan tetap memelihara dan melestarikan budayanya sendiri.
Kehidupan budaya masyarakat Kutai
sebagai berikut :
Masyarakat
Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya nenek moyangnya.
Masyarakat
yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan kebudayaan.
Menjunjung
tingi semangat keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.
Masuknya
Pengaruh Budaya
Masuknya pengaruh budaya India ke
Nusantara, menyebabkan budaya Indonesia mengalami perubahan. Perubahan yang
terpenting adalah timbulnya suatu sistem pemerintahan dengan raja sebagai
kepalanya. Sebelum budaya India masuk, pemerintahan hanya dipimpin oleh seorang
kepala suku.
Selain itu, percampuran lainnya adalah
kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia mendirikan tugu batu. Kebiasaan ini
menunjukkan bahwa dalam menerima unsur-unsur budaya asing, bangsa Indonesia
bersikap aktif. Artinya bangsa Indonesia berusaha mencari dan menyesuaikan
unsur-unsur kebudayaan asing tersebut dengan kebudayaan sendiri.
Bangsa Indonesia mempunyai kebiasaan
mendirikan tugu batu yang disebut menhir, untuk pemujaan roh nenek moyang,
sedangkan tugu batu (Yupa) yang didirikan oleh raja Mulawarman digunakan untuk
menambatkan hewan kurban.
Pada prasasti itu juga diceritakan bahwa
Raja Mulawaraman memerintah dengan bijaksna. Ia pernah menghadiahkan ± 20.000
ekor sapi untuk korban kepada para brahmana / pendeta. Dari Raja Aswawarman
menurunlah sampai Mulawarman, karena Mulawarman pun memeluk agama Hindu. Hal
itu diketahui dari penyebutan bangunan suci untuk Dewa Trimurti. Bangunan itu
disebut bangunan Wapraskewara dan di Gua Kembeng di Pedalaman Kutai ada
sejumlah arca-arca agama Hindu seperti Siwa dan Ganesa.
Bukti sejarah Kerajaan Kutai ini adalah
ditemukannya tujuh buah prasasti yang berbentuk Yupa (tiang batu)
2. Kerajaan Tarumanegara
Letak Geografis Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara atau Taruma adalah
sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada
abad ke-4 hingga abad ke-7 m, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di
nusantara yang diketahui.
Kehidupan
Sosial Kerajaan Tarumanegara
Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara
sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus
berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman
juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam
melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda
penghormatan kepada para dewa.
Kehidupan Budaya Kerajaan Tarumanegara
Dilihat dari teknik dan cara penulisan
huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti kebesaran
Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada
saat itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti
tersebut menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan
Tarumanegara.
Kehidupan Ekonomi
Prasasti tugu menyatakan bahwa raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya
untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak. Pembangunan terusan ini
mempunyai arti ekonomis yang besar nagi masyarakat, Karena dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk mencegah banjir serta sarana lalu-lintas pelayaran
perdagangan antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar. Juga
perdagangan dengan daera-daerah di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan
perekonomian masyarakat Kerajaan Tarumanegara sudah berjalan teratur.
Kehidupan Politik
Raja Purnawarman adalah raja besar yang
telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti
Tugu yang menyatakan raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali sebuah
kali. Penggalian sebuah kali ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali
ini merupakan pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan
sawah-sawah pertanian rakyat.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan
peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda itu dibuat tahun 536 M.
Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Kerajaan Tarumanegara adalah
Suryawarman (535 - 561 M) raja Kerajaan Tarumanegara ke-7. Dalam masa
pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah
yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau dari segi ini, maka
Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Kehadiran prasasti Purnawarman di pasir
muara, yang memberitakan raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa
ibukota sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini
berarti, pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara telah bergeser ke tempat
lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan rajatapura atau salakanagara
(kota perak), yang disebut argyre oleh ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini
sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari rajatapura ke
Tarumanegara, maka salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman
VIII. Ia sendiri seorang maharesi dari salankayana di India yang mengungsi ke
nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan maharaja samudragupta dari
kerajaan magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan
kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja
daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan
perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung
dan Limbangan, Garut. Putera tokoh manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di
ibukota tarumangara dan kemudian menjadi panglima angkatan perang Kerajaan
Tarumanegara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih Berkembang Ketika Cicit
Manikmaya Mendirikan Kerajaan Galuh Dalam Tahun 612 M.
3. Kerajaan
Sriwijaya
Letak Geografis Kerajaan Sriwijaya
Berdasarkan penemuan-penemuan prasasti
disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya terletak di Sumatera Selatan, yaitu
tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang. Setelah berhasil menguasai Palembang,
ibu kota Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari Muara Takus ke Palembang. Dari
Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di
sekitarnya seperti Bangka, Jambi Hulu dan mungkin juga Jawa Barat
(Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil
menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat
Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan
Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah
Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah Semenanjung Malaya bertujuan untuk
menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan terhadap daerah
Tanah Genting Kra bertujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara
Cina dan India. Tanah Genting Kra sering dipergunakan oleh para pedagang untuk
menyeberang dari perairan Lautan Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari
persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan
Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara,
baik yang melalui Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra.Dengan
kekuasaan wilayah itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan laut terbesar di
seluruh Asia Tenggara.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya :
Dilihat dari letak geografis, daerah
Kerajaan Sriwijaya mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu di
tengah-tengah jalur pelayaran perdagangan antara India dan Cina. Di samping
itu, letak Kerajaan Sriwijaya dekat dengan Selat Malak yang merupakan urat nadi
perhubungan bagi daerah-daerah di Asia Tenggara. Hasil
bumi Kerajaan Sriwijaya merupakan modal utama bagi masyarakatnya untuk terjun
dalam aktivitas
pelayaran dan perdagangan.
Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya :
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan
baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Indonesia, terutama dengan
kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala/Nalanda di
Benggala dan Kerajaan Cholamandala di Pantai Timur India Selatan.
Kehidupan
Budaya Kerajaan Sriwijaya :
Menurut berita dari Tibet, seorang
pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) dalam
rangka belajar agama Budha dari seorang guru besar yang bernama Dharmapala.
Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar India. Tetapi
walaupun Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat agama Budha, tidak banyak
peninggalan purbakala seperti candi-candi atau arca-arca sebaga tanda kebesaran
Kerajaan Sriwijaya dalam bidang kebudayaan.
Kehidupan
Politik Kerajaan Sriwijaya :
Raja-raja
yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya diantaranya
sebagai berikut :
Ø Raja Dapunta Hyang
Berita mengenai raja ini diketahui
melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta
Hyang telah berhasil memeperluas wilayak kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi,
yaitu dengan menduduki daerah Minangatamwan.
Daerah ini memiliki arti yang sangat
strategis dalam bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur
perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya,
Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi
Kerajaan Maritim.
Ø Raja Balaputra Dewa
Pada awalnya, Raja Balaputra Dewa adalah
raja dari kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara
di Kerajaan Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya)
yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami
kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di
Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakek dari Raja Balaputra Dewa)
yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di
Kerajaan Sriwijaya disambut baik. Kemudian, ia diangkat menjadi raja.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputra
Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang semakin pesat. Raja Balaputra Dewa
meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Di samping
itu, Raja Balaputra Dewa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di
India, seperti Kerajaan Benggala (Nalanda) maupun Kerajaan Chola. Bahkan pada
masa pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan
penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
Ø Raja Sanggrama Wijayattunggawarman
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Sriwijaya mendapat ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah pemerintahan Raja
Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan
Sriwijaya. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil
ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulotungga I di Kerajaan Cho, Raja
Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
4. Kerajaan Mataram Kuno
Letak Geografis Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram terletak di Jawa Tengah
dengan daerah intinya disebut Bhumi Mataram. Daerah tersebut dikelilingi oleh
pegunungan dan gunung-gunung, seperti Pegunungan Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro,
Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Pegunungan
Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu, Gunung Kidul. Daerah itu juga dialiri banyak
sungai, diantaranya Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan yang
terbesar dalah Sungai Bengawan Solo.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai
Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu
amat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian.
Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling
mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya.Usaha untuk meningkatkan dan
mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai
Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika
Raja Balitung berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat
perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo
diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui
aliran sungai tersebut. Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai
tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya pengangkutan perdagangan
melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan
rakyat Mataram Kuno.
Kehidupan Sosial Kerajaan
Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik
keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap
hdup rukun dan saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka
bergotong royong dalam membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang
sebenarnya tidak ada kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena
sikap toleransi dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam
pembangunan tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan
adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat oleh
penduduk desa ternyata juga di hormati dan dijalankan oleh para pegawai istana.
Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan erat antara rakyat dan
kalangan istana.
Kehidupan Kebudayaan Kerajaan
Mataram Kuno
Semangat kebudayaan masyarakat Mataram Kuno sangat
tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti
dan candi. Prasasti peniggalan dari Kerajaan Mataram Kuno, seperti prasasti
Canggal (tahun 732 M), prasasti Kelurak (tahun 782 M), dan prasasti Mantyasih
(Kedu). Selain itu, juga dibangun candi Hindu, seperti candi Bima, candi
Arjuna, candi Nakula, candi Prambanan, candi Sambisari, cadi Ratu Baka, dan
candi Sukuh. Selain candi Hindu, dibangun pula candi Buddha, misalnya candi
Borobudur, candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, dan candi
Mendut. Mereka juga telah mengenal bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.
Selain tiu, masyarakat kerajaan Mataram Kuno juga mampu membuat syair.
Kehidupan Politik Kerajaan
Mataram Kuno
Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Mataram
Kuno menjalin kerjasama dengan kerajaan tetangga, misalnya Sriwijaya, Siam dan
India. Selain itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik.
Misalnya pada masa pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan kembali
Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya dengan cara anaknya yang bernama
Pramodyawardhani(Wangsa Syailendra) dinikahkan dengan Rakai Pikatan (Wangsa
Sanjaya).
Wangsa Sanjaya merupakan penguasa awal di Kerajaan
Mataram Kuno, sedangkan Wangsa Syailendra muncul setelahnya yaitu mulai akhir
abad ke-8 M. Dengan adanya perkawinan politik ini, maka jalinan kerukunan
beragama antara Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Buddha (Wangsa Syailendra) semakin
erat.
5. Kerajaan Singasari
Letak
Geografis Kerajaan Singasari
Sejarah Kerajaan Singasari berawal dari
daerah Tumapel, yang dikuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah
pegunungan yang subur di wilayah Malang, dengan pelabuhannya bernama Pasuruan.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Singasari
Keadaan perekonomian
Kerajaan Singasari yaitu ikut ambil bagian dalam dunia pelayaran. Keadaan ini
juga didukung oleh hasil – hasil bumi.
Kehidupan Sosial Kerajaan Singasari
Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di
Tumapel, berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah – daerah
yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada masa pemerintahan Anusapati,
kehidupan kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian, karena ia
larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial
masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan
taraf kehidupan masyarakatnya.
Kehidupan Budaya Kerajaan Singasari
Ditemukan peninggalan
candi – candi dan patung – patung diantaranya candi Kidal, candiJaga, dan candi
Singasari. Sedangkan patung – patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes
sebagai Dewa Prajnaparamita lambang kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam
wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan
Kertanegara (Kedua patung Kertanegara baik patung Joko Dolog maupun Amoghapasa
menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana).
Kehidupan Politik Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari yang pernah mengalami
kejayaan dalam perkembangan sejarah Hindu di Indonesia dan bahkan menjadi cikal
bakal Kerajaan Majapahit, pernah diperintah oleh raja-raja sebagai berikut:
Ken
Arok
Ken Arok sebagai raja Singasari pertama
bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti
Girindrawangsa (Dinasti Keturunan Siwa). Raja Ken Arok memerintah antara tahun
1222-1227 M. Masa pemerintahan Ken Arok diakhiri secara tragis pada tahun 1227.
Ia mati terbunuh oleh kaki tangan Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak
Ken Dedes dari suami pertamanya Tunggul Ametung).
Raja
Kertanegara
Raja Kertanegara (1268-1292 M) merupakan
raja terkemuka dan raja terakhir dari Kerajaan Singasasri. Di bawah
pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai masa kejayaannya. Upaya yang
ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri
dan luar negeri.
a. Politik Dalam Negeri
Dalam
rangka mewujudkan stabilisasi politik dalam negeri, Raja Kertanegara menempuh
jalan sebagai berikut:
ü Mengadakan
pergeseran pembantu-pembantunya.
ü Berbuat
baik terhadap lawan-lawan politiknya.
ü Memperkuat
angkatan perang.
b. Politik Luar Negeri
Untuk mencapai cita-cita politiknya itu,
Raja Kertanegara menempuh cara-cara sebagai berikut.
Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu (1275
dan 1286 M) untuk menguasai Kerajaan Melayu serta melemahkan posisi Kerajaan
Sriwijaya di Selat Malaka.
Menguasai
Bali (1284 M).
Menguasai
Jawa Barat (1289 M).
Menguasai
Pahang (Malaya) dan Tanjung Pura (Kalimantan).
Kertanegara
membendung ekspansi Khu Bilai Khan dengan cara :
1) Menjalin kerja sama dengan negeri Champa
2) Memberantas setiap usaha pemberontakan
3) Mengganti pejabat yang tidak mendukung
gagasannya
4) Berusaha menyatukan Nusantara di bawah
Singosari.
6. Kerajaan Kediri
Letak Geografis Kerajaan Kediri
Wilayah kerajaan Kediri (Panjalu) berada di tepi sungai
Brantas, Jawa Timur. Daerahnya subur dan aliran sungainya dipakai sebagai
sarana transportasi. Wilayahnya semakin luas setelah setelah Jenggala dapat
dikuasai sehingga membuat Kediri sebagai satu-satunya kerajaan di Jawa Timur.
Kehidupan Sosial Kerajaan Kediri
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada
zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun
oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M.
Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat
Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya
rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna
kuning dan hijau.
Pemerintahannya sangat memerhatikan
keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami
kemajuan yang cukup pesat.
Golongan-golongan
dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam
pemerintahan kerajaan.
1)
Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam
lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2) Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu
golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di
wilayah thani (daerah).
3) Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu
golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan
pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang
bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada
1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota,
perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.
Kehidupan Budaya Kerajaan Kediri
Sastra
Tulis
- Kitab Carita Parahyangan
- Sawakanda atau Serat Kanda
- Sanghyang Siksakandang Karesian
Sastra
Lisan
Berupa
cerita pantun seperti Catra, Haturwangi, Langgalarang Banyk dan Siliwangi.
Keterangan
:
Kerajaan
Pajajaran tidak memiliki peninggalan berupa bangunan seperti candi karena
kehidupan masyarakat Pajajaran itu hidup berpindah-pindah sehingga tidak
membuat bangunan permanen
Kehidupan politik
kerajaan kediri
Berturut-turut
raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut :
1) Raja Jayabaya (1135 M – 1159 M)
Raja Jayabaya menggunakan lencana
kerajaan berupa lencana Narasingha. Kemenangannya atas peperangan melawan
Jenggala diperingatinya dengan memerintahkan Mpu Sedah menggubah kakawin
Bharatayudha. Karena Mpu Sedah tidak sanggup menyelesaikan kakawin tersebut,
Mpu Panuluh melanjutkan dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Pada masa
pemerintahannya ini, Kediri mencapai puncak kejayaan.
2) Raja Sarweswara
(1159 – 1169 M)
Pengganti Jayabaya
adalah Raja Sarweswara. Tidak banyak yang diketahui mengenai raja ini sebab
terbatasnya peninggalan yang ditemukan. Ia memakai lencana kerajaan berupa
Ganesha.
3) Raja Kameswara (1182
– 1185 M)
Selama beberapa waktu, tidak ada berita yang
jelas mengenai raja Kediri hingga munculnya Kameswara. Pada masa
pemerintahannya ini ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja yang
berisi pemujaan terhadap raja, serta kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang
ditulis oleh Mpu Tan Alung. Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu
yang akhirnya masuk surga dan Wretasancaya berisi petunjuk mempelajari tembang
Jawa Kuno.
4) Raja Kertajaya (1185
– 1222 M)
Pada masa pemerintahan
Kertajaya, terjadi pertentangan antara para brahmana dan Raja Kertajaya. Hal
ini terjadi karena para brahmana menolak menyembah raja yang menganggap dirinya
sebagai dewa. Para brahmana lalu meminta perlindungan pada Ken Arok. Kesempatan
ini digunakan Ken Arok untuk memberontak terhadap Kertajaya. Pada tahun 1222 M
terjadi pertempuran hebat di Ganter dan Ken Arok berhasil mengalahkan
Kertajaya.
7.
Kerajaan Majapahit
Letak Geografis Kerajaan Majapahit
Secara
geografis letak karajaan Majapahit sangat strategis karena adanya di daerah lembah
sungai yang luas, yaitu Sungai Brantas dan Bengawan Solo, serta anak sungainya
yang dapat dilayari sampai ke hulu. Kerajaan Majapahit
merupakan suatu kerajaan besar yang disegani oleh banyak negara asing dan
membawa keharuman nama Indonesia sampai jauh ke luar wilayah Indonesia.
Kehidupan Sosial Kerajaan Majapahit
Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas
lapisan-lapisan masyarakat (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis.
Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal
dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.
1.
Pola ini dibedakan atas empat golongan
masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula
golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha,
yang merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.
2. Brahmana
(kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu mengajar,
belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain, membagi dan
menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup dan bersatu dengan
Brahman (Tuhan).
3. Dari
aspek kedudukan kaum wanita dalam masyarakat Majapahit, mereka mempunyai status
yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka
untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh
ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka.
Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh
bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk
menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
Kehidupan
Budaya Kerajaan Majapahit
Bukti-bukti
perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui
peninggalan-peninggalan berikut.
Candi
Antara
lain Candi Panataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan Surawana (Pare, Kediri),
Candi Sawentar (Blitar), Candi Sumberjati (blitar), Candi Tikus (Trowulan), dan
bangunan-bangunan purba lainnya yang terdapat di daerah Trowulan.
Sastra
Hasil
sastra zaman Majapahit awal di antaranya:
Kitab
Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca (tahun 1365).
Kitab
Sutasoma, karangan Mpu Tantular.
Kitab
Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular.
Kitab
Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
Kitab
Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya.
Raja
Kertarajasa Jayawardhana
Raja Kertanegara wafat pada tahun 1291
M, ketika Keraton Singasari saat itu diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang
(keturunan Raja Kediri). Dalam serangan itu Raden Wijaya, menantu Kertanegara,
berhasil meloloskan diri dan lari ke Madura untuk meminta perlindungan dari
Bupati Arya Wiraraja. Atas bantuan dari Arya Wiraraja ini, Raden Wijaya
diterima dan diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan sebidang tanah di Tarik.
Daerah itu kemudian dibangun kembali menjadi sebuah perkampungan dan digunakan
oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk
sewaktu-waktu mengadakan serangan balasan terhadap Kediri.
Kedatangan serangan Cina-Mongol yang
ingin menaklukan Kertanegara, tidak disia-siakan oleh Raden Wijaya untuk
menyerang Raja Jayakatwang (Raja Kediri).
Raden Wijaya berhasil menipu
pasukan-pasukan Cina, sehingga tentara Cina rela bergabung dengan pasukan Raden
Wijaya dan menyerang Raja Jayakatwang. Raja Jayakatwang dapat dikalahkan dan
Kerajaan Kediri dapat dihancurkan.
Kemenangan dari serangan ini membuat
tentara Cina-Mongol bergembira dan merayakan pesta kemenangannya. Namun, bagi
Raden Wijaya kemenangan ini harus berada di pihaknya. Raden Wijaya kemudian
memutuskan untuk menyerang balik tentara-tentara Cina-Mongol yang sedang pesta
pora. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang dilakukan oleh pasukan Raden
Wijaya ini membuat tentara Cina-Mongol menjadi kalang kabut. Banyak yang
terbunuh. Yang selamat melarikan diri dan kembali ke daratan Cina. Akhirnya, di
Jawa hanya tinggal satu kekuatan, yaitu kekuatan dari pasukan Raden Wijaya.
Dengan lenyapnya pasukan Cina-Mongol,
pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit sudah dapat dianggap berdiri, walaupun secara
resmi sistem pemerintahan Kerajaan majapahit baru berjalan setahun kemudian,
yaitu ketika Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri
Kertajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya memerintah Kerajaan
Majapahit dari tahun 1293-1309 M. raden Wijaya sempat memperistri keempat putri
Kertanegara, yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri.
Pada awal pemerintahannya pernah terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh teman-teman seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora, Ranggalawe,
dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu diakibatkan karena rasa tidak puas
atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi,
pemberontakan-pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan.
Raden Wijaya wafat tahun 1309 M dan
dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura dan
dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi Simping (dekat Blitar).
Raja
Jayanegara
Raja Raden Wijaya wafat meninggalkan
seorang putra yang bernama Kala Gemet. Putra ini diangkat menjadi Raja Majapahit
dengan gelar Sri Jayanegara pada tahun 1309 M.
Jayanegara memerintah Majapahit dari
tahun 1309-1328 M. Masa pemerintahan Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan
juga dikenal sebagai suatumasa yang suram di dalam sejarah Kerajaan Majapahit.
Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari Juru Demung (1313 M), Gajah Biru
(1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).
Pemberontakan Kuti merupakan
pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit.
Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke desa Bedander yang diikuti oleh sejumlah
pasukan bayangkara (pengawal pribadi raja) di bawah pimpinan Gajah Mada.
Setelah beberapa hari menetap di desa Bedander maka Gajah Mada kembali ke
Majapahit untuk meninjau suasana.
Setelah diketahui keadaan rakyat dan
para bangsawan istana tidak setuju dan bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah
Mada akhirnya merencanakan suatu siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti.
Berkat ketangkasan dan siasat yang jitu dari Gajah Mada, Kuti dan
kawan-kawannya dapat dilenyapkan.
Raja Jayanegara dapat kembali lagi ke
Istana dan menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa
Gajah Mada, maka ia langsung diangkat menjadi patih di kahuripan (1319-1321),
tidak lama kemudian diangkat menjadi patih di Kediri (1322-1330).
Ratu
Tribhuwanatunggadewi
Raja Jayanegara meninggal dengan tidak
meninggalkan seorang putra mahkota. Tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan
Gayatri, putri Raja Kertanegara yang masih hidup. Namun, karena ia sudah
menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama
Tribhuwanatunggadewi. ia menjadi ratu atas nama atau mewakili ibunya, Gayatri.
Tribhuwanatunggadewi memerintah Kerajaan
Majapahit dari tahun 1328-1350 M. pada masa pemerintahannya, meletus
pemberontakan Sadeng (1331 M). pimpinan pemberontak tidak diketahui. Nama
Sadeng sendiri adalah nama sebuah daerah yang terletak di Jawa Timur.
Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan Adityawarman.
Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada
diangkat menjadi Patih Mangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah. Sejak
saat itu, Gajah Mada menjadi pejabat pemerintahan tertinggi sesudah raja. Ia
mempunyai wewenang untuk menetapkan politik pemerintahan Majapahit.
Raja
Hayam Wuruk
Raja Hayam Wuruk yang terlahir dari
perkawinan Tribhuwanatunggadewi dengan Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang
raja yang mempunyai pandangan luas. Kebijakan politik Hayam Wuruk banyak
mengalami kesamaan dengan politik Gajah Mada, yaitu mencita-citakan persatuan
Nusantara berada di bawah panji Kerajaan Majapahit.
Hayam Wuruk memerintah Kerajaan
Majapahit dari tahun 1350-1389 M. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada tetap
merupakan salah satu tiang utama Kerajaan majapahit dalam mencapai kejayaannya.
Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah
Kerajaan Sriwijaya.
Selama hidupnya, patih Gajah Mada
menjalankan Politik Persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu
tegas, sehingga menimbulkan peristiwa pahit yang dikenal dengan Peristiwa Sunda
(Peristiwa Bubat). Peristiwa Sunda terjadi tahun 1351 M, berawal dari usaha
Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran
itu diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri Baduga beserta putri dan pengikutnya
pergi ke Majapahit, dan beristirahat di lapangan Bubat dekat pintu gerbang
Majapahit.
Selanjutnya timbul perselisihan paham
antara Gajah Mada dan pimpinan Laskar Pajajaran, karena Gajah Mada ingin
menggunakan kesempatan ini agar Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit,
yakni dengan menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan
bukan sebagai permaisuri. Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran karena
dianggap merendahkan derajat. Akhirnya pecah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya
Sri baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat.
Akibat peristiwa itu, politik Gajah Mada
mengalami kegagalan, karena dengan adanya peristiwa Bubat belum berarti
Pajajaran sudah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Bahkan Kerajaan Pajajaran
terus berkembang secara terpisah dari Kerajaan Majapahit.
Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M,
Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang sangat diandalkan di dalam
memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik
awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit. Setelah Gajah Mada wafat, Raja Hayam
Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Patih
Gajah Mada. Namun, tidak satu orang pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah
Mada. Kemudian diangkatlah empat orang menteri di bawah pimpinan Punala
Tanding. Hal itu tidak berlangsung lama. Keempat orang menteri tersebut
digantikan oleh dua orang menteri, yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri.
Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih
mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan Majapahit seakan-akan
semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi
(ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan
pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas
setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan
Majapahit.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Aspek Kehidupan Kerajaan Hindu-Budha dan anda bisa bookmark artikel Aspek Kehidupan Kerajaan Hindu-Budha ini dengan url https://rifkiofficial.blogspot.com/2013/05/aspek-kehidupan-kerajaan-hindu-budha.html. Terima kasih
Wow keren artikelnya sob, tp bukannya candi borobudur itu dibangun oleh wangsa syailendra Sriwijaya di Jawa pada saat pemerintahan raja Samaratungga sob? tx's :)
ReplyDelete